Beranda | Artikel
Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan Penyucian Jiwa (1)
Kamis, 11 Juni 2009

Penyucian jiwa adalah masalah yang sangat penting dalam Islam, bahkan merupakan salah satu tujuan utama diutusnya Nabi kita Muhammmad shallallahu ‘alaihi wa sallam (Lihat kitab Manhajul Anbiya’ fii Tazkiyatin Nufuus, hal. 21)

Allah Ta’ala menjelaskan hal ini dalam banyak ayat Al Qur-an, di antaranya firman Allah Ta’ala,

كَمَا أَرْسَلْنَا فِيكُمْ رَسُولاً مِنْكُمْ يَتْلُو عَلَيْكُمْ آيَاتِنَا وَيُزَكِّيكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَا لَمْ تَكُونُوا تَعْلَمُونَ

“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepadamu, dan menyucikan(diri)mu, dan mengajarkan kepadamu Al kitab (Al Qur-an) dan Al Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.” (Qs Al Baqarah: 151)

Juga firman-Nya,

لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ

“Sungguh Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur-an) dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Qs Ali ‘Imraan: 164)

Makna firman-Nya “menyucikan (jiwa) mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah Ta’ala). (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/267)

Pentingnya Tazkiyatun Nufus Dalam Islam

Pentingnya tazkiyatun nufus ini akan semakin jelas kalau kita memahami bahwa makna takwa yang hakiki adalah pensucian jiwa itu sendiri (Lihat kitab Manhajul Anbiya’ fii Tazkiyatin Nufuus, hal. 19-20). Artinya ketakwaan kepada Allah Ta’ala yang sebenarnya tidak akan mungkin dicapai kecuali dengan berusaha menyucikan dan membersihkan jiwa dari kotoran-kotoran yang menghalangi seorang hamba untuk dekat kepada Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala menjelaskan hal ini dalam firman-Nya,

وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاها قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا

“Dan (demi) jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu (dengan ketakwaan) dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya (dengan kefasikan).” (Qs Asy Syams: 7-10)

Demikian juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam doa beliau:

اللَّهُمَّ آتِ نَفْسِى تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا

“Allahumma aati nafsii taqwaaha wa zakkihaa, anta khoiru man zakkaahaa, anta waliyyuhaa wa mawlahaa” [Ya Allah, anugerahkanlah kepada jiwaku ketakwaan, dan sucikanlah jiwaku (dengan ketakwaan itu), Engkau-lah Sebaik-baik Yang Mensucikannya, (dan) Engkau-lah Yang Menjaga serta Melindunginya]” (HSR. Muslim dalam Shahih Muslim no. 2722)

Imam Maimun bin Mihran (seorang ulama tabi’in) berkata, “Seorang hamba tidak akan mencapai takwa sehingga dia melakukan muhasabatun nafsi (introspeksi terhadap keinginan jiwa untuk mencapai kesucian jiwa) yang lebih ketat daripada seorang pedagang yang selalu mengawasi sekutu dagangnya (dalam masalah keuntungan dagang). Oleh karena itu, ada yang mengatakan: Jiwa manusia itu ibarat sekutu dagang yang suka berkhianat. Kalau Anda tidak selalu mengawasinya, dia akan pergi membawa hartamu (sebagaimana jiwa akan pergi membawa agamamu)” (Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau Ighaatsatul Lahfaan, hal. 147 – Mawaaridul Amaan)

Ketika menerangkan pentingnya tazkiyatun nufus, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah mengatakan, “Orang-orang yang menempuh jalan (untuk mencari keridhaan) Allah Ta’ala, meskipun jalan dan metode yang mereka tempuh berbeda-beda, akan tetapi mereka sepakat mengatakan bahwa nafsu (jiwa) manusia adalah penghalang utama bagi hatinya untuk sampai kepada ridha Allah Ta’ala. Sehingga seorang hamba tidak akan mencapai kedekatan kepada Allah Ta’ala melainkan setelah dia berusaha menentang dan menguasai nafsunya (dengan melakukan tazkiyatun nufus)” (Kitab Ighaatsatul Lahfaan, hal. 132 – Mawaaridul Amaan))

Manhaj Ahlul Bid’ah Dalam Penyucian Jiwa

Karena pentingnya kedudukan tazkiyatun nufus dalam agama Islam inilah, tidak heran kalau kita mendapati orang-orang ahlul bid’ah berlomba-lomba mengatakan bahwa merekalah yang paling perhatian terhadap masalah ini, bahkan sebagian mereka berani mengklaim bahwa hanya dengan mengamalkan metode merekalah seorang hamba bisa mencapai kesucian jiwa yang utuh dan sempurna.

Akan tetapi, kalau kita mengamati dengan seksama metode-metode mereka, kita akan dapati bahwa semua metode tersebut tidak bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah. Akan tetapi sumbernya adalah pertimbangan akal dan perasaan, atau ciptaan pimpinan-pimpinan kelompok mereka, bahkan berdasarkan khayalan atau mimpi yang kemudian mereka namakan mukasyafah (tersingkapnya tabir) [1]. Inilah sebab utama yang menjadikan setan mampu menyesatkan mereka sejauh-jauhnya dari jalan yang benar, karena berpalingnya mereka dari petunjuk Allah dalam Al Qur-an dan Sunnah. Sehingga dengan manerapkan metode-metode mereka tersebut seseorang tidak akan mencapai kesucian jiwa dan kebersihan hati yang sebenarnya, bahkan justru hatinya akan semakin jauh dari Allah karena mereka mengikuti jalan-jalan setan, “Barangsiapa yang berpaling dari dalil (Al Qur-an dan Sunnah) maka jalannya akan tersesat” (Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab Miftahu Daaris Sa’aadah, 1/83)

[1] Maksudnya adalah cerita bohong orang-orang ahli Tasawuf yang bersumber dari bisikan jiwa dan perasaan mereka, yang sama sekali tidak berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah.

Imam Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk tipu daya setan adalah apa yang dilontarkannya kepada orang-orang ahli tasawuf yang bodoh, berupa asy syathahaat (ucapan-ucapan tanpa sadar/igauan) dan penyimpangan besar, yang ditampakkannya kepada mereka sebagai bentuk mukasyafah (tersingkapnya tabir hakikat) dari khayalan-khayalan. Maka setan pun menjerumuskan mereka dalam berbagai macam kerusakan dan kebohongan, serta membukakan bagi mereka pintu pengakuan-pengakuan dusta yang sangat besar. Setan membisikan kepada mereka bahwa sesungguhnya di luar ilmu (syariat yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah) ada jalan lain yang jika mereka menempuhnya maka jalan itu akan membawa mereka kepada tersingkapnya (hakikat dari segala sesuatu) secara jelas dan membuat mereka tidak butuh lagi untuk terikat dengan (hukum dalam) Al Qur’an dan As Sunnah [?!] …maka ketika mereka menempuh jalan yang jauh dari bimbingan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, setan pun menampakkan kepada mereka berbagai macam kesesatan sesuai dengan keadaan mereka, dan membisikkan khayalan-khayalan ke dalam jiwa mereka, kemudian menjadikan khayalan-khayalan tersebut seperti benar-benar nyata sebagai penyingkapan hakikat dari segala sesuatu secara jelas…[?!]” (Kitab Ighaatsatul Lahfaan, hal. 193 – Mawaaridul Amaan)

Senada dengan ucapan di atas, Imam Ibnul Jauzi ketika menjelaskan perangkap setan dalam menjerumuskan orang-orang tasawuf, beliau berkata, “Ketahuilah bahwa sesungguhnya awal mula talbis (pengkaburan/perangkap) Iblis untuk menjerumuskan manusia ke dalam kesesatan adalah dengan menghalangi (memalingkan) mereka dari ilmu agama yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah, karena ilmu agama itu adalah cahaya yang menerangi hati, maka jika Iblis telah berhasil memadamkan lampu-lampu cahaya mereka, dia akan mampu mengombang-ambingkan dan menyesatkan mereka dalam kegelapan (kesesatan) sesuai dengan keinginannya.” (Kitab Talbiisu Ibliis, hal. 389)

-bersambung insya Allah-

***

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim Al-Buthoni, Lc.
Artikel www.muslim.or.id

🔍 Milad Dalam Islam, Hukum Memilih Pemimpin Wanita, Masuk Neraka Tanpa Hisab, Sapi Kambing Qurban


Artikel asli: https://muslim.or.id/661-ahlus-sunnah-wal-jamaah-dan-penyucian-jiwa-1.html